TERBANGKAN
SURATKU UNTUK MEREKA
Tubuh
Kecil berbaut baju berwarna merah muda, seorang anak kecil duduk sendiri di
tepi rumah sembari menatap laut.,Sebut saja dia Rara. Dengan ditemani berberapa
merpati peliharaanya, empat… lima..sepuluh? ah, entah berapa jumlahnya. Diayun
ayunkannya kaki kecilnya itu ke depan dan belakang, menggoda sepasang merpati
yang sedang asyik berbagi menitih langkah di depannya. Sesaat ia termenung, dan
membaringkan pasrah tubuhnya ke lantai teras rumahnya itu sambil kemudian
menutup kedua matanya dengan telapak tangannya.
“ Gelap ”
, gumamnya..
“ Sekarang
tidak gelap lagi kan? ” sahutku dari belakang…
“ iih,
kakak, aku kan kaget kak…” tersentak dia waktu mengetahui aku ada di
belakangnya. Mungkin pikirnya aku telah mengikuti polah laku yang dia lakukan
tadi. Sambil tersenyum, dia memegang telapak tanganku dan melingkarkan ke
pundaknya. Mungkin dia kangen dengan aku yang belakangan ini tidak sempat
menemani tingkah lucunya sehari hari. Kemudian dia berbaring, bersandar pada kakiku…
“ kak, aku
pengen bermain sama kakak…. Aku minta diajari menggambar ya…” pintanya lembut…
“ kok tiba
tiba, memangnya ada apa? Nggak mau ah… ” tolakku bercanda…
“ ah,
kakak.. aku kan pengen bisa menggambar…” rengeknya layaknya seorang anak kecil
yang meminta mainan…
“
iya..iya… besok kalau ada waktu kakak akan ajarin deh…memangnya buat
apa?”
“ Buat
ayah dan ibu kak…. ” jawabnya…
Deg..
memang aku dan adekku sudah lama di tinggal orang tua pergi mereka. Terlampaui
lagi ketika Rara berusia satu tahun ketika mereka meninggalkannya. Dan sekarang
dia telah berusia sembilan tahun, usia yang terbilang muda ketika dia harus
tahu orang yang disayanginya tak lagi mampu membelai lembut rambutnya. Aku
tersontak diam ketika mendengar dia berkata begitu. Dia memang sudah mengerti
jika dia ditinggal pergi oleh ayah dan ibu. Tapi yang tak bisa aku terima,
ketika dia harus menempuh jalan hidup yang keras dan menguji ketegaran hati
kelak tanpa belaian kasih dan dukungan orang tua. Apa dia akan setegar yang aku
kira? Mungkin tidak..
Angin laut
bergerak membelai helai demi helai rambut kami berdua. Daun bamboo yang aku
tanam di halaman depan berterbangan meliuk liuk seperti terombang ambing oleh
kegundah gulanaan. Kami sejenak terdiam. Aku terus melirik untuk melihat gerak
bola matanya yang terus memandang dalam wajahku seakan dia hendak mlontarkan
barjuta-juta pertanyaan padaku. Merpati pun terbang kesana kemari mengisi
reruangan yang ada di atas kami, sampai seekor merpati hinggap dikepalanya.
“ ahaha,
kak merpatinya lucu…” dia tertawa
Sekarang
dia tertawa sendiri tanpa menghiraukan diriku yang ada di sampingnya sambil
memeluki burung yang tadi berada di atas kepalanya, untuk kedua kalinya di
terdiam terpaku menatap setiap gerak gerik sang merpati yang berada dalam
peluknya. Dilepaskannya begitu saja dan dia berlari kedalam rumah, entah apa
yang dilakukannya. Sebelum sempat aku mengejarnya, dia sudah kembali lagi
keluar rumah sambil membawa secarik kertas kosong dan sebuah pensil di
tangannya.
“ kak, aku
mau buat surat saja buat mereka…”
“ kok
surat, katanya mau diajarin menggambar? ” tanyaku..
“
menggambar kan sulit, aku mau buat surat aja… ” senyumnya…
“ terus,
mau kamu titipin sama siapa?? Kan ga ada pak pos ke surga?”
tanyaku bingung..
“ ada deh
kak… besok kalau mau aku kirim temenin ya kak.. ” pintanya padaku..
“
iya..iya… ”
Kemudian
dia mulai duduk sembari tangannya menggerak gerakkan tangannya di atas kertas
putih tersebut, mencurahkan berbagai perasaannya kepada secarik kertas. Kulihat
matanya menatap kertas tanpa berkedip, mulutnya bergumam, mengeluarkan isi hati
yang hendak ia curahkan. Kata demi kata ia tulis dalam kertas kecil yang ia
ambil dari dalam rumah. Coretan coretan polos dari anak kecil yang menumpahkan
perasaan sayangnya, rindunya pada orang tuanya. Mungkin kalau bisa kirim surat
buat mereka, pasti dia akan lontarkan tumpahan perasaannya pada berlembar
lembar kertas. Kudekati dai dan aku lihat apa yang dia curahkan sejak tadi…
tetapi apa yang dia tulis? Bukan tulisan yang aku lihat pada secarik kertas itu,
melainkan coretan coretan yang tak aku mengerti.
“ apa
sih yang kamu tulis dari tadi? Kok ga ada? ”
“ aku
bingung kak, mau nulis apa… sulit… ” nadanya berubah menjadi nada seorang yang
ptus asa.
“ ya
sudah, nanti malam kamu habis belajar buat surat ya, pasti kamu sekarang capek,
sana mandi dulu sudah sore nih”
Sore yang
dingin dengan angin laut yang terus menerobos relung hatiku perlahan menghilang
bagaikan kabut dan diganti dengan malam yang sepi dengan desir ombak yang
menerjang pasir pasir, bergemuruh dalam telingaku. Jam dinding menunjukkan
pukul 8 malam ketika aku menggerakkan langkahku menuju kamar rara, adekku.
Tertulis jelas didepan pintu nama adekku dengan berhiasakan berbagai macam
kartun. Kubuka perlahan dengan maksud agar aku tak mengagetkannya.
Kulihat ia tidur di atas meja belajar dengan berbantalkan tangan, tangan
kirinya memegang kertas yang tadi sore. Kuhampiri ia, aku mencoba melihat
kertas kecil yang ia genggam. Memang agak lusuh, tapi aku berusaha membacanya….
“Merpatiku,
Melewati relung jiwa yang rapuh membawa pesanku,
doaku untukmu,
Semua aku curahkan padanya,
Setiap kupanjatkan doa padamu sebagai
kerinduanku, ”
Aku
terkejut, aku tak bisa membayangkan apa yang ia fikirkan sampai ia membuat kata
kata yang tak mungkin dibuat oleh anak seusianya. Mataku berkaca ketika kutatap
wajahnya yang terlihat letih, mungkin dia memikirkan suratnya seharian. Ku usap
kepaanya, panas ternyata. Dia merengek mungkin karena dia kelelahan. Aku
gendong dia dan aku baringkan di tempat tidur dan kuselipkan kembali surat yang
tadi aku ambil. Dia sedikit merengek. Kutanya dia
“ Apa kamu
sakit? Badanmu panas dek.. ” cemasku
“ Rara
capek kak, badan Rara agak tidak enak badan..”
Kututupi
tubuh mungilnya dengan selimut. Dia kembali merengek dan Dia melontarkan sebuah
kalimat padaku.
“ kak..
besok temani rara kirim surat buat ayah dan ibu ya ” pintanya sambil terlihat
menahan sakit..
“ sudah,
kamu istiraat dulu.. ‘’ jawab singkatku
Mungkin
terasa melelahkan untuk seorang anak kecil untuk memikirkan apa yang akan dia
buat untuk ayah dan ibu. Dan mungkin inilah kesempatan Rara untuk
mengekspresikan apa yang dia inginkan. Aku menatap wajahnya yang memerah,
mungkin karena efek dari badannya yang panas. Matanya berkaca – kaca menahan
rasa ngilu di kepala. Rasa khawatir menyenggol pikiranku, menepuk kesadaranku
untuk merawatnya. Tampaknya dia memang sedang sakit. Dia tampak resah, mungkin
karena dia berfikir kapan suratnya itu dia sampaikan pada ayah dan ibu… Aku
berusaha menenangkannya…
“ Ya
sudah, kalau kamu sehat, besok kakak antar. Kamu tidur dulu ya, kakak akan
menungguimu di sini. ” jawabku menghiburnya..
Dia pun
mengangguk pelan dan tertidur dalam wajah yang terlihat puas setelah apa yang
aku katakan tadi dan dalam rasa lelah dan capek karena seharian memikirkan isi
surat itu. Aku pun menungguinya tidur di tepi tempat tidurnya yang kecil,
menungguinya seperti kataku.
Malam
terasa begitu singkat, kudengar sayup sayup suara anak kecil di dekatku.
Diguncang-guncang tubuhku seraya ingin membangunkanku. Kubuka mata perlahan,
dan ternyata Rara sudah ada di depanku..
“ kakak..
ayo bangun , katanya mau nemenin Rara kirim surat? Ayo,,, ”
“
sekarang? ”
Dia tidak
menjawab pertanyaan ku. Dia berlari keluar rumah sambil menarik pergelangan
tangan kananku. Di hampirinya merpati merpati peliharaannya yang sedang
berkumpul di depan rumah. Di peluknya salah satu merpati dan diikatkannya
secarik kertas kecil di kaki sang merpati. Dia berlari menuju tepi pantai
sambil tetap memeluk merpati dan memegangi tangan ku.
“ Di sini?
” tanyaku pada Rara..
“ Iya kak,
disini. Aku mau titip sama merpati ” senyumnya…
Dia
melepaskan tanganku, dielusnya bulu bulu sang merpati. Perlahan lahan dia
mendekatkan kepala sang merpati ke mulutnya yang kecil dan membisikkan kata
kata padanya….
“ burung,
kamu pasti pernah lewat tempat ayah dan ibu, tolong ya sampaikan pesanku buat
mereka.bilang sama mereka, aku sayang mereka… ”
Dia
melepaskan merpati itu untuk terbang tinggi menyampaikan pesannya pada ayah dan
ibu. Angin berhembus merasuki jiwaku yang dilanda keharuan melihat sikap rara
barusan. Merapti itupun hilang dari hadapan kami. Tapi, Rara berkata padaku
“Suatu
saat nanti pasti merapti itu akan menyampaikan pesannya pada ayah dan ibu. “