Jika Tuhan mengizinkan aku rindu padamu,
Akankah Tuhan juga mengizinkan aku memilikimu?
Jika Tuhan tak mengizinkanku,
Bolehkah aku mendengar “ Aku mencintaimu ” darimu?
Karena kau begitu jauh, aku jadi tak tahu apakah kau mengeluh dengan hubungan yang begitu jenuh. Atau apa hanya aku saja yang menganggapnya jenuh, karena kita terpisah begitu jauh? Aku pikir tak ada salahnya kamu mengeluh, jika hubungan yang dibangun sudah tak seperti dulu, utuh. Ah, andai saja dulu bukan kamu yang mengisi hati ini hingga penuh, pasti aku tak akan jatuh karena kau sekarang begitu jauh. Rindu? Aku begitu luluh pada arti kata rindu, cinta yang tak kunjung sampai karena kau menjauh. Ah, andai saja kau sabar menunggu, hubungan itu akan menjadi utuh, tak perlu lagi ada rindu yang bisa kapan saja membunuh.
Ya, aku dulu pernah berpikir seberapa lama ini akan bertahan? Jika pada setiap jalan pasti berujung pada sebuah tikungan dan pemberhentian yang penuh akan godaan. Aku tak menyalahkan keadaan, hanya saja kita dipaksakan oleh sebuah keadaan dimana hubungan penuh dengan cobaan disaat hati masih sama sama rentan. Bukannya enggan, hanya saja semua pilihan pada akhirnya berujung pada sebuah perpisahan, bukan perpisahan karena paksaan, namun karena suatu kesadaran. Sadar bahwa sekuat apapun kita bertahan, karena soal hati apa yang bisa dipaksakan?
Apakah diriku terlalu terburu buru? Jika aku tahu bahwa mencintaimu pada akhirnya membuatku begitu layu, akankah aku tetap mecintaimu? Entahlah mungkin aku akan bertahan padamu. Karena hanya dirimu yang mampu membuatku merasakan rindu hingga hati ini menderu. Hanya kamu yang bisa membuatku tahu, bahwa setiap kehendaku tidak bisa kupaksakan semauku. Dan hanya kamu, yang membuatku tahu bahwa mencintai tak selamanya memiliki.
Untuk kamu, aku tidak tahu bagaimana cara mencintai orang lain selain dirimu. Dirimu yang sudah membuatku hampir mati karena rindu, dan untul kamu, akan sulit bagiku melupakan wajahmu, rautmu, sorot matamu, dan juga senyumnu. Untuk kesekian kalinya, aku kembali rindu padamu
