Mungkin ini
sapaan pertama kita setelah sekian lama kita tak pernah bertegur sapa. Sangat
dingin meskipun dilapis dengan senyum hangat. Kita begitu diam kali ini, entah
mengapa. Kita berjalan beriringan menuju meja yang telah kita pesan. Aku menarik
kursi untukmu, namun kau mencegah untuk kesekian kalinya. Bukankah itu sama
seperti dulu. Kau pegang tanganku sambil tersenyum manis dan menggelengkan
kepalamu. Senyummu berusaha aku balas. Kita duduk, kita berhadapan, dan kita
juga bertatapan. Kepulan uap hangat dari cappuccino menyapu wajahku, atau
bahkan masing masing dari kita? Entahlah. Bahkan sendari tadi tak ada satupun sajian di
meja yang kita ambil. Kenapa kita saling diam? Bukankah seharusnya ada yang
lebih baik kita lakukan? Atau mungkin kita sama sama gugup . . . sepertinya . .
.
Apa kau baik baik di sana?
Tanyaku kembali.
Sangat bodoh! Kenapa harus melontarkan kata kata klasik yang bahkan aku sendiri
tau dia akan mnjawab apa.
Yah, aku baik bahkan sangat baik. Bagaimana
denganmu?
Aku tersenyum
kepadanya? Mungkin kali ini kami sama sama bodoh, menanyakan apa yang memang
sudah terlihat di depan mata. Ya, kami terlihat sama sama baik kali ini. Kulihat
dia sekali lagi, begitu cantik. Rambut pendek sebahunya, rambut yang selalu aku
bayangkan seperti apa jika menjadi panjang. Bukankah dia akan menjadi lebih
cantik? Ah dia memang cantik, seperti biasanya. Mata kami tiba tiba tak sengaja
kembali bertemu. Aku menunduk, begitu pula dia. Aku menarik nafas panjang . . .
Maaf, apakah kamu bahagia disana?
Dia menatapku,
begitu dalam. Jika aku bisa menggambarkannya dan itu benar, maka tatapan itu
berupa kesedihan. Entah apa yang ada di pikirannya. Atau pertanyaanku barusan
yang salah? Dasar bodoh!
Yah, aku mencoba baik baik saja di sana.
Berusaha kuat untuk bahagia. Engkau tahu bukan?
Dia kembali
menunduk. Aku merendahkan kepalaku. Mencoba melihat raut wajahnya dari bawah. Sepertinya
dia tahu kalau aku khawatir, dia menatapku kembali dan tersenyum. Mengangkat kembali
kepalanya dan menghembuskan nafas panjang .
.
“ Yah, kurang lebih sudah 2 tahun bukan? Dan dulu
aku pernah mengungkapkan, memintamu untuk di sinilah sebentar, di sisiku. Namun jelas itu
permintaan yang mustahil meskipun saat itu aku membutuhkanmu lebih daripada
yang kau pikirkan. Aku memang bodoh ”
Aku memegang
tangannya, aku berusaha tersenyum ketika mulai terlihat butir air mata di
pelupuknya. Segera aku usap dan singkirkan, jujur aku benar benar benar sulit
untuk berkata, namun aku harus mencoba . . .
“ Apa kau tahu? Saat itu aku sama
sakitnya dengan dirimu. Aku mencoba tinggal namun jelas tidak bisa, meskipun
ingin namun sulit. Mungkin masing masing diantara kita pernah berbuat salah,
dulu . . . Aku tak pernah bisa menggenggam tanganmu walau sekuat apapun aku mencoba, mungkin dulu apa yang aku berikan kepadamu begitu kecil jika
dibandingkan dengan pemberian seseorang bukan? Namun yakinlah, itulah semua
yang aku punya. Aku sudah berusaha sebaik mungkin . . . “
Aku berdiri dari
temaptku dan berusaha mendekatinya. Agak gugup memang, namun aku memeluknya. Dia
bergetar, membenamkan wajahnya kepadaku. Terdengar pelan bahwa ia terisak. Aku ingin
ia tenang ketika aku ada disampingya, dan aku ingin dia nyaman ketika aku
memeluknya . . .
“
Tenang, jika Tuhan mengijinkan maka kita masih ada jalan. Meskipun sulit mencintai kembali. Mari kita mencobanya dan biarkan Tuhan mengaturnya “