Bagaimana? Apa
kau sudah menghitung berapa banyak langkahku agar aku lebih dekat dengan
dirimu? Kau bertanya kepadaku mengapa aku mengungkitnya? Aku memang
mengungkitnya, agar kau sadar ketika aku sedang jatuh cinta, dengan begitu
mudahnya kau meludahkanku, jatuh begitu sakit. Serasa begitu tak ada gunanya
selama ini aku melangkah mendekatimu. Tak ada salahnya aku mengungkit bukan?
Padahal jika kau tahu, sudah begitu dekat dirimu padaku dan bahkan bayang kita
sudah saling beradu walau ku tahu bukan kitalah yang beradu. Sedih rasanya,
padahal semuanya hampir saja. Jika kukatakan sebelumnya bahwa mudah saja bagi
diriku menarikmu karena kau adalah temanku, itu salah. Apa benar aku memiliki
kesempatan seluar biasa itu? Entahlah. Karena semuanya hampir saja . . . iya,
hampir
Selama
ini yang aku lakukan adalah penantian? Bagaimana denganmu. Sekali lagi aku bisa
saja menarikmu kepadaku, namun aku mengambil jarak. Atau bahkan dirimu yang
mengambil jarak? Aku berfikir akan indah jika aku membiarkanmu, namun dengan
membiarkanmu, melihatmu tau tidak melihatmu sama saja. Sakit! Satu tahun, dua
tahun, atau entah berapa tahun aku tidak tahu, paling tidak aku menunggumu
lama. Jika semesta kembali berpihak kepadaku, tolong kembalikan aku pada saat
itu. Pada saat pertama kali aku mengenalmu. Aku akan membuat cerita baru dan
menjaganya. Akan aku luruskan benang yang telah kusut, aku akan berjuang dengan
sungguh sungguh. Aku yakinkan akan hal itu. Namun sepertinya, semesta akan
meludahkanku. Membuangku jauh, mungkin sangat jauh. Lalu aku bisa apa?
Sekarang aku
tidak tahu, bahwa kau tak kembali pada sadarmu, padahal bayang kita sudah
pernah saling beradu. Beradu pun sepertinya percuma, karena perlahan salah satu
dari bayang itu kian menjauh. Semakin susah untuk kugapai. Aku tidak ingin
mengucapkan kata Selamat tinggal kepadamu. Maka dengan ini kuterjemahkan
kepadamu. Walau aku tak bisa membelai rambutmu dan menatapmu, ingin kukatakan “
Pulanglah dari perantauan dan Kembali Denganku Saja ”