“ Bagaiamana? Apa kau mau? ” terdengar suaranya lirih dibalik telepon genggam yang aku pegang. Aku terasa kosong, bahkan merasa sangat linglung. Pertanyaan “ Bagaimana ” saja tidak bisa ku jawab. Bodoh memang! Tapi haruskah aku menyalahkan diriku sendiri?
“
Aku tidak tahu, aku belum yakin ” sejenak sepi. Tidak seperti biasanya.
Percakapan kali ini begitu canggung. Biasanya kami tidak pernah diam dalam
waktu yang cukup lama dalam sebuah obrolan. Biasanya begitu mudah, mengalir
dengan sendirinya. Aku berusaha menarik nafas, cukup dalam. Namun sama saja,
aku kembali tidak bisa berucap. Kenapa dengan diriku ini? Aku tak pernah
segugup ini pada saat sebelumnya
“
Apa yang membuatmu tidak yakin ” kemudian sepi terjadi kembali. Bodoh! Apa yang
aku katakana sebelumnya? Apa aku melukai dirinya terlebih perasaanya? Entahlah,
hanya saja aku belum bisa menjawabnya. Ataukah ada rasa takut dalam diriku?
Ketika aku menjawab pertanyaannya dia bertambah sakit? Bingung. Aku masih tetap
diam, biarkan saja sepi yang mengisi
“
Apa kau tidak suka dengan pekerjaanku kelak? Apa kau takut bahwa aku sama
dengan apa yang kau dengar selama ini? ” entah kenapa aku kembali diam. Sungguh
aku menyesal telah berkata sebelumnya. Hanya saja, sebagai perempuan aku merasa
bodoh. Aku belum siap mendapati kenyataan jika kelak calon suamiku adalah
seorang yang bekerja di kapal. Hanya saja, Aku tidak siap jika aku harus di
tinggal sendirian. Memang aku wanita yang bisa menyibukkan diri, namun
memikirkan dia itu yang lebih membuatku sibuk daripada kesibukan-kesibukan yang
rutin aku jalani. Ya, memikirkan cinta cukup menyita waktu. Terlebih ditambah
kenyataan, aku harus siap di tinggal jika aku memilih bersamanya. Selain itu,
seberapa lama aku harus menunggu agar dia menapakkan kakinya di daratan kembali.
Ironis.
“
Aku masih bingung, bukankah aku wanita yang kurang menarik? Begitu yang
dipikirkan kebanyakan orang. Kau akan menyesal jika mengetahui diriku lebih
dalam lagi. Kau pasti akan menjauh ” jawabku pelan, aku tak mau kembali diam.
Biarkan dia mendengarkan pendapatku, kali ini saja
“
Kenapa aku harus pergi? Jika aku ingin pergi aku akan pergi sejak dulu! Bagiku
kau berbeda dari kebanyakan wanita yang lain. ” Itu jawaban yang membuatku
tersanjung, dilain sisi juga membuatku bingung. Sepertinya dia tidak main main.
Justru aku yang seperti sedang bermain-main. Apa yang harus kulakukan? Jika aku
memberikan jawaban sekarang, justru aku yang akan kecewa. Jika aku terlama
menunda, mungkin juga aku yang akan kecewa. Kuharap kau tahu kenapa aku akan
kecewa
“
Aku tidak bisa memberikanmu kepastian. Cukup sulit bagiku ” tidak ada lagi yang
bisa kuucapkan selain itu. Pikiranku sudah kalang kabut, tak karuan. Tidak apa
lah aku harus mengulur benang sejanak. Mungkin dengan begitu aku bisa melihat
kesungguhannya. Bukankah pertanyaannya di awal sudah membuktikan
kesungguhannya? Entahlah. Sudah cukup! Aku bingung
“
Baiklah, aku tidak akan memaksamu karena itu memang dirimu. Itulah dirimu yang
aku kenal ” Suaranya terdengar pasrah namun tegas. “ Aku takut obrolan kita
hari ini akan membuat kita semakin jauh, Hanya saja aku masih bahagia bisa
mengenalmu. Mengunjungimu saat itu tidak membuatku menyesal. Begitu pula dengan
hari ini, aku tak menyesal menanyaimu demikian. “ entah kenapa hatiku begitu
tenang mendengarnya mengucapkan kata kata itu. Aku akan mengingatnya. Jika aku
bisa mangharap, lebih baik bukan kau yang terpilih untuk pergi. Namun egoiskah
aku?
“
Selamat malam, jaga diri baik baik ” pugkasnya. Dan kini malamku kembali sepi.
Dan sesaat aku rindu. Rindu kepada orang lain. Teringat dia yang memegang
tanganku di bawah temaramnya mentari pagi dan menanyaiku “ Kau tidak apa-apa?
Apa kau kuat? ” Tidak istimewaa memang, tapi cukup membuatku jatuh cinta. Aku
rindu gunung dan segala pernik yang ada di dalamnya, termasuk kamu. Namun,
seseorang telah menungguku, hingga kapal kembali berlabuh. Entah pada siapa
hatiku kini berlabuh, aku tidak tahu.
- Kepadamu yang telah membuatku merasa istimewa
-