Terbangkan Suratku Untuk Mereka

Saturday, December 27, 2014


TERBANGKAN SURATKU UNTUK MEREKA
Tubuh Kecil berbaut baju berwarna merah muda, seorang anak kecil duduk sendiri di tepi rumah sembari menatap laut.,Sebut saja dia Rara. Dengan ditemani berberapa merpati peliharaanya, empat… lima..sepuluh? ah, entah berapa jumlahnya. Diayun ayunkannya kaki kecilnya itu ke depan dan belakang, menggoda sepasang merpati yang sedang asyik berbagi menitih langkah di depannya. Sesaat ia termenung, dan membaringkan pasrah tubuhnya ke lantai teras rumahnya itu sambil kemudian menutup kedua matanya dengan telapak tangannya.
“ Gelap ” , gumamnya..
“ Sekarang tidak gelap lagi kan?  ” sahutku dari belakang…
“ iih, kakak, aku kan kaget kak…” tersentak dia waktu mengetahui aku ada di belakangnya. Mungkin pikirnya aku telah mengikuti polah laku yang dia lakukan tadi. Sambil tersenyum, dia memegang telapak tanganku dan melingkarkan ke pundaknya. Mungkin dia kangen dengan aku yang belakangan ini tidak sempat menemani tingkah lucunya sehari hari. Kemudian dia berbaring, bersandar pada kakiku…
“ kak, aku pengen bermain sama kakak…. Aku minta diajari menggambar ya…” pintanya lembut…
“ kok tiba tiba, memangnya ada apa? Nggak mau ah… ” tolakku bercanda…
“ ah, kakak.. aku kan pengen bisa menggambar…” rengeknya layaknya seorang anak kecil yang meminta mainan…
“ iya..iya… besok kalau ada waktu kakak akan ajarin deh…memangnya buat apa?”
“ Buat ayah dan ibu kak…. ” jawabnya…
Deg.. memang aku dan adekku sudah lama di tinggal orang tua pergi mereka. Terlampaui lagi ketika Rara berusia satu tahun ketika mereka meninggalkannya. Dan sekarang dia telah berusia sembilan tahun, usia yang terbilang muda ketika dia harus tahu orang yang disayanginya tak lagi mampu membelai lembut rambutnya. Aku tersontak diam ketika mendengar dia berkata begitu. Dia memang sudah mengerti jika dia ditinggal pergi oleh ayah dan ibu. Tapi yang tak bisa aku terima, ketika dia harus menempuh jalan hidup yang keras dan menguji ketegaran hati kelak tanpa belaian kasih dan dukungan orang tua. Apa dia akan setegar yang aku kira? Mungkin tidak..
Angin laut bergerak membelai helai demi helai rambut kami berdua. Daun bamboo yang aku tanam di halaman depan berterbangan meliuk liuk seperti terombang ambing oleh kegundah gulanaan. Kami sejenak terdiam. Aku terus melirik untuk melihat gerak bola matanya yang terus memandang dalam wajahku seakan dia hendak mlontarkan barjuta-juta pertanyaan padaku. Merpati pun terbang kesana kemari mengisi reruangan yang ada di atas kami, sampai seekor merpati hinggap dikepalanya.
“ ahaha, kak merpatinya lucu…” dia tertawa
Sekarang dia tertawa sendiri tanpa menghiraukan diriku yang ada di sampingnya sambil memeluki burung yang tadi berada di atas kepalanya, untuk kedua kalinya di terdiam terpaku menatap setiap gerak gerik sang merpati yang berada dalam peluknya. Dilepaskannya begitu saja dan dia berlari kedalam rumah, entah apa yang dilakukannya. Sebelum sempat aku mengejarnya, dia sudah kembali lagi keluar rumah sambil membawa secarik kertas kosong dan sebuah pensil di tangannya.
“ kak, aku mau buat surat saja buat mereka…”
“ kok surat, katanya mau diajarin menggambar? ” tanyaku..
“ menggambar kan sulit, aku mau buat surat aja… ” senyumnya…
“ terus, mau kamu titipin sama siapa?? Kan ga ada pak pos ke surga?” tanyaku bingung..
“ ada deh kak… besok kalau mau aku kirim temenin ya kak.. ” pintanya padaku..
“ iya..iya… ”
Kemudian dia mulai duduk sembari tangannya menggerak gerakkan tangannya di atas kertas putih tersebut, mencurahkan berbagai perasaannya kepada secarik kertas. Kulihat matanya menatap kertas tanpa berkedip, mulutnya bergumam, mengeluarkan isi hati yang hendak ia curahkan. Kata demi kata ia tulis dalam kertas kecil yang ia ambil dari dalam rumah. Coretan coretan polos dari anak kecil yang menumpahkan perasaan sayangnya, rindunya pada orang tuanya. Mungkin kalau bisa kirim surat buat mereka, pasti dia akan lontarkan tumpahan perasaannya pada berlembar lembar kertas. Kudekati dai dan aku lihat apa yang dia curahkan sejak tadi… tetapi apa yang dia tulis? Bukan tulisan yang aku lihat pada secarik kertas itu, melainkan coretan coretan yang tak aku mengerti.
apa sih yang kamu tulis dari tadi? Kok ga ada? ”
“ aku bingung kak, mau nulis apa… sulit… ” nadanya berubah menjadi nada seorang yang ptus asa.
“ ya sudah, nanti malam kamu habis belajar buat surat ya, pasti kamu sekarang capek, sana mandi dulu sudah sore nih”
Sore yang dingin dengan angin laut yang terus menerobos relung hatiku perlahan menghilang bagaikan kabut dan diganti dengan malam yang sepi dengan desir ombak yang menerjang pasir pasir, bergemuruh dalam telingaku. Jam dinding menunjukkan pukul 8 malam ketika aku menggerakkan langkahku menuju kamar rara, adekku. Tertulis jelas didepan pintu nama adekku dengan berhiasakan berbagai macam kartun. Kubuka perlahan dengan maksud agar aku tak mengagetkannya.  Kulihat ia tidur di atas meja belajar dengan berbantalkan tangan, tangan kirinya memegang kertas yang tadi sore. Kuhampiri ia, aku mencoba melihat kertas kecil yang ia genggam. Memang agak lusuh, tapi aku berusaha membacanya….
Merpatiku,
Melewati relung jiwa yang rapuh membawa pesanku, doaku untukmu,
Semua aku curahkan padanya,
Setiap kupanjatkan doa padamu sebagai kerinduanku,
Aku terkejut, aku tak bisa membayangkan apa yang ia fikirkan sampai ia membuat kata kata yang tak mungkin dibuat oleh anak seusianya. Mataku berkaca ketika kutatap wajahnya yang terlihat letih, mungkin dia memikirkan suratnya seharian. Ku usap kepaanya, panas ternyata. Dia merengek mungkin karena dia kelelahan. Aku gendong dia dan aku baringkan di tempat tidur dan kuselipkan kembali surat yang tadi aku ambil. Dia sedikit merengek. Kutanya dia
“ Apa kamu sakit? Badanmu panas dek.. ” cemasku
“ Rara capek kak, badan Rara agak tidak enak badan..”
Kututupi tubuh mungilnya dengan selimut. Dia kembali merengek dan Dia melontarkan sebuah kalimat padaku.
“ kak.. besok temani rara kirim surat buat ayah dan ibu ya ” pintanya sambil terlihat menahan sakit..
“ sudah, kamu istiraat dulu.. ‘’ jawab singkatku
Mungkin terasa melelahkan untuk seorang anak kecil untuk memikirkan apa yang akan dia buat untuk ayah dan ibu. Dan mungkin inilah kesempatan Rara untuk mengekspresikan apa yang dia inginkan. Aku menatap wajahnya yang memerah, mungkin karena efek dari badannya yang panas. Matanya berkaca – kaca menahan rasa ngilu di kepala. Rasa khawatir menyenggol pikiranku, menepuk kesadaranku untuk merawatnya. Tampaknya dia memang sedang sakit. Dia tampak resah, mungkin karena dia berfikir kapan suratnya itu dia sampaikan pada ayah dan ibu… Aku berusaha menenangkannya…
“ Ya sudah, kalau kamu sehat, besok kakak antar. Kamu tidur dulu ya, kakak akan menungguimu di sini.  ” jawabku menghiburnya..
Dia pun mengangguk pelan dan tertidur dalam wajah yang terlihat puas setelah apa yang aku katakan tadi dan dalam rasa lelah dan capek karena seharian memikirkan isi surat itu. Aku pun menungguinya tidur di tepi tempat tidurnya yang kecil, menungguinya seperti kataku.
Malam terasa begitu singkat, kudengar sayup sayup suara anak kecil di dekatku. Diguncang-guncang tubuhku seraya ingin membangunkanku. Kubuka mata perlahan, dan ternyata Rara sudah ada di depanku..
“ kakak.. ayo bangun , katanya mau nemenin Rara kirim surat? Ayo,,, ”
“ sekarang? ”
Dia tidak menjawab pertanyaan ku. Dia berlari keluar rumah sambil menarik pergelangan tangan kananku. Di hampirinya merpati merpati peliharaannya yang sedang berkumpul di depan rumah. Di peluknya salah satu merpati dan diikatkannya secarik kertas kecil di kaki sang merpati. Dia berlari menuju tepi pantai sambil tetap memeluk merpati dan memegangi tangan ku.
“ Di sini? ” tanyaku pada Rara..
“ Iya kak, disini. Aku mau titip sama merpati ” senyumnya…
Dia melepaskan tanganku, dielusnya bulu bulu sang merpati. Perlahan lahan dia mendekatkan kepala sang merpati ke mulutnya yang kecil dan membisikkan kata kata padanya….
“ burung, kamu pasti pernah lewat tempat ayah dan ibu, tolong ya sampaikan pesanku buat mereka.bilang sama mereka, aku sayang mereka… ”
Dia melepaskan merpati itu untuk terbang tinggi menyampaikan pesannya pada ayah dan ibu. Angin berhembus merasuki jiwaku yang dilanda keharuan melihat sikap rara barusan. Merapti itupun hilang dari hadapan kami. Tapi, Rara berkata padaku
“Suatu saat nanti pasti merapti itu akan menyampaikan pesannya pada ayah dan ibu. “

You Might Also Like

0 comments

Followers

Total Pageviews

Translate