* Sudut Pandang Lisria *
Aku perlahan membuka mataku. Aku kini mengenali tempat
dimana aku berada sekarang. “ Kamarku? ” begitu gumamku. Aku menepis semua hal
yang menjadi pertanyaan dalam pikiranku. Sakit! Kepalaku masih sulit untuk
berpikir lebih dalam. Aku masih bisa memikirkan orang yang selama ini
mengganggu pikiranku. Bagaimana aku masih bisa memikirkannya? Tapi dilain sisi,
Bagaimana
aku bisa melupakan dirinya, dia
bahkan sangat menyulitkanku untuk melakukanya. Sehari saja jauh dari dirinya, gilaku satu tahun rasanya. Kugerayangi sisi kasur berharap
menemukan ponselku. Kupandangi ponsel karna lama
menunggu balasnya
saja gelisahku merajut.
Bodoh, kenapa aku harus memandangi ponselku sambil terus mengharap balasannya? Apa
sakit ini yang membuatku lupa bahwa dia bukan orang yang seharusnya aku tunggu?
Kini
yang kurasa menangispun ku tak mampu, atau bahkan percuma. Apakah aku harus berdoa kepada Tuhan agar
membuat aku bosan dengannya? Perlahan aku mulai merasakan pudarnya
rasa dari hatinya, ketulusanmu semakin hilang dari
matanya
yang selalu menatapku,
dirinya yang selalu menunggu diriku pulang, genggaman tangannya yang selalu
menuntunku kembali, senyumnya yang selalu menyambutku, serta tawanya yang terus
menghiburku? Kini aku sendiri bingung, kemana semua hal tersebut? Kaukah yang
membuangnya?
Aku
tau, sedari awal aku memang sudah kalah
duluan. Dalam
hal cinta aku kalah jauh darinya
aku
jatuh dahulu sebelum dirinya
jatuh juga akhirnya. Dia
bahkan bisa bangkit terlebih
dahulu
disaat aku masih terjatuh. Mungkin
karena egoku yang terlalu tinggi sehingga membuatku tertakuti oleh rasaku
sendiri, namun
sekarang aku mulai merasakan kehilangan selera untuk hal apapun, termasuk dalam hal cinta. Tapi, aku
tidak tau seluk beluk hati ini diciptakan sedemikian rumitnya untukku dan untuknya. Dalamnya
cinta ini, justru menenggelamkanku di luka yang terdalam. Sangat dalam.
Percayalah, Allah tidak menciptakan jalan cinta kita
serumit yang kita jalani selama ini. Allah menempatkan cintaku dan dirinya pada
jalan yang indah yang membuat diriku terlena dalam persimpangan. Aku mencoba
agar kita masih bisa berjalan di jalan yang sama. Aku mengabaikan rambu jalan
yang dipasang orang tuaku dan terus melaju bersamanya. Namun, semakin lama
dirinya berjalan semakin pelan dan menurunkanku di tepi jalan, dan dirinya
berbelok ke arah persimpangan? Benar, seharusnya aku tidak terlena oleh jalan
yang Allah berikan, rambu orang tua yang selalu meperingatkan, dan setiap
persimpangan yang ada di tepian. Kini aku berdiri sendiri di tepi jalan,
membasuh muka dengan angin. Air mata kini tak mau lagi mengalir, mungkin sudah
kering. Aku berfikir berdoa pun kini percuma. Namun aku mengerti bahwa berdoa
dan bermunajat kepada Allah itu penting daripada hatiku harus terluka oleh isi
hatiku yang tak terucap.
“ Aku adalah malam yang gelap dan dingin, aku
adalah hujan yang membuat orang membeku dalam diam yaitu bisu. Aku adalah
perwujudan rindu yang tak pernah sampai. Bukankah kau mengerti betapa sakitnya
ketika rindu yang kau maksud tak pernah sampai? Aku, yang bahkan tak pernah
menyentuh kasih yang tulus. Dan aku, aku yang bahkan tak tahu harus menyebut
diriku apa tepatnya. Karnamu ”
Benar, seharusnya aku lebih mempercayai Allah dan apa
yang orang tua katakan kepadaku. Bukan percaya kepada dirinya yang bahkan tak
pernah percaya kepadaku. Aku menepis semua khayal yang ada, mencoba bangkit
dari ranjang yang menahanku dan angan yang selalu membelenggu. Dan aku masih
berfikir, siapa yang mengantarkanku kembali ke rumah?
Bersambung . . .