Lisria dan Bukunya Part 5

Thursday, April 30, 2015



* Sudut Pandang Lisria *

Aku perlahan membuka mataku. Aku kini mengenali tempat dimana aku berada sekarang. “ Kamarku? ” begitu gumamku. Aku menepis semua hal yang menjadi pertanyaan dalam pikiranku. Sakit! Kepalaku masih sulit untuk berpikir lebih dalam. Aku masih bisa memikirkan orang yang selama ini mengganggu pikiranku. Bagaimana aku masih bisa memikirkannya? Tapi dilain sisi, Bagaimana aku bisa melupakan dirinya, dia bahkan sangat menyulitkanku untuk melakukanya. Sehari saja jauh dari dirinya, gilaku satu tahun rasanya. Kugerayangi sisi kasur berharap menemukan ponselku. Kupandangi ponsel karna lama menunggu balasnya saja gelisahku merajut. Bodoh, kenapa aku harus memandangi ponselku sambil terus mengharap balasannya? Apa sakit ini yang membuatku lupa bahwa dia bukan orang yang seharusnya aku tunggu? Kini yang kurasa menangispun ku tak mampu, atau bahkan percuma. Apakah aku harus berdoa kepada Tuhan agar membuat aku bosan dengannya? Perlahan aku mulai merasakan pudarnya rasa dari hatinya, ketulusanmu semakin hilang dari matanya yang selalu menatapku, dirinya yang selalu menunggu diriku pulang, genggaman tangannya yang selalu menuntunku kembali, senyumnya yang selalu menyambutku, serta tawanya yang terus menghiburku? Kini aku sendiri bingung, kemana semua hal tersebut? Kaukah yang membuangnya?

Aku tau, sedari awal aku memang sudah kalah duluan. Dalam hal cinta aku kalah jauh darinya aku jatuh dahulu sebelum dirinya jatuh juga akhirnya. Dia bahkan bisa bangkit terlebih dahulu disaat aku masih terjatuh. Mungkin karena egoku yang terlalu tinggi sehingga membuatku tertakuti oleh rasaku sendiri, namun sekarang aku mulai merasakan kehilangan selera untuk hal apapun, termasuk dalam hal cinta. Tapi, aku tidak tau seluk beluk hati ini diciptakan sedemikian rumitnya untukku dan untuknya. Dalamnya cinta ini, justru menenggelamkanku di luka yang terdalam. Sangat dalam.

Percayalah, Allah tidak menciptakan jalan cinta kita serumit yang kita jalani selama ini. Allah menempatkan cintaku dan dirinya pada jalan yang indah yang membuat diriku terlena dalam persimpangan. Aku mencoba agar kita masih bisa berjalan di jalan yang sama. Aku mengabaikan rambu jalan yang dipasang orang tuaku dan terus melaju bersamanya. Namun, semakin lama dirinya berjalan semakin pelan dan menurunkanku di tepi jalan, dan dirinya berbelok ke arah persimpangan? Benar, seharusnya aku tidak terlena oleh jalan yang Allah berikan, rambu orang tua yang selalu meperingatkan, dan setiap persimpangan yang ada di tepian. Kini aku berdiri sendiri di tepi jalan, membasuh muka dengan angin. Air mata kini tak mau lagi mengalir, mungkin sudah kering. Aku berfikir berdoa pun kini percuma. Namun aku mengerti bahwa berdoa dan bermunajat kepada Allah itu penting daripada hatiku harus terluka oleh isi hatiku yang tak terucap.

 “ Aku adalah malam yang gelap dan dingin, aku adalah hujan yang membuat orang membeku dalam diam yaitu bisu. Aku adalah perwujudan rindu yang tak pernah sampai. Bukankah kau mengerti betapa sakitnya ketika rindu yang kau maksud tak pernah sampai? Aku, yang bahkan tak pernah menyentuh kasih yang tulus. Dan aku, aku yang bahkan tak tahu harus menyebut diriku apa tepatnya.  Karnamu

Benar, seharusnya aku lebih mempercayai Allah dan apa yang orang tua katakan kepadaku. Bukan percaya kepada dirinya yang bahkan tak pernah percaya kepadaku. Aku menepis semua khayal yang ada, mencoba bangkit dari ranjang yang menahanku dan angan yang selalu membelenggu. Dan aku masih berfikir, siapa yang mengantarkanku kembali ke rumah?

Bersambung . . .

You Might Also Like

0 comments

Followers

Total Pageviews

Translate