Luruh Kuncup Sebelum Berbunga

Tuesday, September 11, 2012



Kuncup itu telah gugur
Luruh sebelum berbunga
Tetapi ….
Dia gugur untuk menjadi pupuk kehidupan
Bagi alam sekitarnya….

Ari meniup kelima batang lilin di atas kue ulang tahunnya dengan kuat. Hanya empat lilin yang padam, sedangkan lilin yang lain masih menyalakan api yang bergoyang-goyang menantang.
Belum sempat ari meniup, angin menerobos masuk menghempaskan pintu dan mendahului memadamkan api lilin yang terakhir. Bebarengan dengan halilintar, menggelegar membelah udara. Memutuskan aliran listrik. Gelap langsung menyergap, dan Ari menjerit ketakutan. Cepat-cepat Dewi sang ibu meraihnya, sementara ayahnya menutup pintu. Seberkas cahaya dari lilin menerangi paras Ari yang pucat pasi. Matanya membelalak ketakutan. Ayah dan ibunya mencoba menghibur, mengingatkan Ari pada sesuatu yang diminta saat ulang tahun. Ari pun kembali tersenyum, menggugat apa yang di inginkannya. Ari ingin sepeda. Sepeda yang ada boncengannya supaya Pinta dapat ikut membonceng.
Pinta adalah teman Ari, anak perempuan yatim piatu yang tinggal di rumah sebelah. Teman bermain Ari. Umurnya sekitar 4 tahun. Tubuhnya kecil dari tubuh Ari. Kurus kering, kotor tak pernah memakai sandal apalagi sepatu. Sebenarnya Dewi tak ingin anaknya berteman dengan Pinta. Tapi ada satu alasan yang menyebabkan Dewi tidak tega melarang Ari bermain dengan Pinta, “Pinta anak yatim piatu, dia buta”.
Satu hal benar yang pernah dikatakan Kris, anak memang tidak dapat dibandingkan dengan kebahagiaan mereka. Tidak ada satupun yang dapat ditukar dengan pernikahan ini. Dewipun juga tahu, Kris berdusta jika dia mengatakan tidak mengharapkan seorang anak. Setelah bertahun-tahun kemanisan cinta mereka mulai memudar, mereka sama-sama mengharapkan sesuatu yang lain. Seutas tali pengikat yang kuat. Mungkin bahkan lebih kuat dari tali cinta mereka. Anak! Pupuk penyubur pohon perkawinan mereka. Itulah yang tak pernah mereka miliki sampai usia perkawinan mereka yang kedelapan.
Keluarga dari orang tua Dewi dan orang tua Kris bermusuhan. Malangnya, cinta justru tumbuh diantara anak-anak mereka. Kris jatuh cinta terhadap Dewi, putri pak Prawoto orang yang dibenci oleh keluarga ayah Kris. Cinta memang sudah lama tumbuh diantara Kris dan Dewi. Dulu tak ada rintangan dalam kehidupan mereka. Apalagi kedua abang mereka, Tato dan Hadi bersahabat sejak kecil.
Hari-hari berlalu semenjak Ari ulang tahun. Saat Dewi masuk kamar Ari, Dewi pun hampir tak percaya pada pengelihatannya. Sarung bantal Ari memerah. Merah sekali. Darah!!! Dewi pun berteriak memanggil Kris. Ketika Kris menerobos masuk, Ari muntah. Muntahnya menyemprot tanpa permisi lagi. Dan Ari menangis makin hebat. Kris berusaha mengambil Ari dari gendongan Dewi. Tapi Ari makin kuat melekat pada ibunya. Ari pun dibawa ke rumah sakit. Setelah diperiksa, dokter menyarankan agar Ari dirawat di rumah sakit.
Ternyata setelah beberapa kali pemeriksaan sampai ke Jakarta, penyakit Ari pun akhirnya diketahui. Ada benjolan sebesar biji jagung yang tumbuh di otaknya. Air matapun keluar dari mata Dewi. Dewi menangisi anaknya yang masih belum sadar.
Tuhan memang maha adil, dibalik musibah selalu ada hikmah. Sekian puluh tahun keluarga Kris tidak merestui hubungan mereka berdua, tetapi setelah kedua orang tua Kris mengetahui bahwa Ari sakit, hubungan mereka semua semakin membaik. Perlahan tetapi pasti, dendam dalam hati kedua orang tua Kris mulai luruh. Setibanya Ari dari Jakarta, hampir setiap hari Ari dijemput orang tua Kris setelah pulang sekolah. Ari senang sekali bisa bertemu kakek dan neneknya. Walaupun kakek Ari terlihat galak, tetapi sebenarnya sangat sayang terhadap Ari. Mereka bercerita, bercanda sambil memberi makan burung peliharaan sang kakek. Ari sering memijati kaki kakeknya, karena sang kakek sering sakit-sakitan sekarang. Mungkin karena Ari terlalu lelah bermain ke rumah kakeknya, Ari akhirnya jatuh sakit lagi. Kali ini lebih parah. Ari terpaksa dirawat di rumah sakit di Jakarta karena benjolan itu ternyata diketahui sebagai Kanker otak.
Sekian lama Ari dirawat di Jakarta, tak urung membuat semua orang sedih karena tidak dapat mendengar canda tawa Ari yang menggemaskan, terutama Pinta. Dia termasuk orang yang paling merasa sedih karena sudah lama tidak bisa bermain dengan Ari. Pinta sangat merindukan Ari. Ingin sekali dia menjenguk Ari ke Jakarta dan menghiburnya. Tetapi dia tidak tahu harus kemana untuk bertemu Ari dengan kedua matanya yang buta. Pinta hanya bisa berdoa agar Ari cepat pulang dan bisa bermain lagi dengannya.
Tiba-tiba ada telepon dari keluarga suaminya. Ternyata dari mertua perempuannya. Setelah pembicaraan itu, Dewi pun memanggil Kris sambil menangis mengabarkan bahwa ayahnya telah meninggal dunia. Kris pun menangis setelah mengetahui bahwa ayahnya telah meninggal. Setelah beberapa tahun ayahnya tidak merestui hubungannya dengan Dewi, baru saja kemarin dia meminta maaf kepada ayahnya, belum sempat dia merasakan hari-hari bahagia bersama ayahnya, sang ayah telah berpulang kepada yang kuasa.
Disuatu malam, Pinta diajak Kris untuk menjenguk Ari karena mereka tahu bahwa Ari juga merindukan Pinta. Rumah sakit sudah mulai sepi. Disebuah lorong rumah sakit yang gelap, seorang anak kecil berdoa seraya menengadahkan kedua tangannya
“Tiap malam Pinta minta agar Pinta bisa melihat kembali. Tetapi sekarang Pinta ingin minta yang lain. Kalau Tuhan Cuma mau mengabulkan 1 permintaan saja, kabulkanlah permintaan Pinta! Jangan permintaan Ari! Ari selalu berdoa supaya Pinta bisa melihat lagi. Buta terus juga tidak apa-apa, sama saja! Tapi Ari biasanya bisa melihat, bisa ngomong, bisa tertawa, bisa bercerita. Tolong Tuhan, suruh Ari bangun!!!”.

Air matapun mengalir dari mata Dewi yang dari tadi memperhatikan dari luar kamar Ari. Dewi menyadari betapa tulusnya mereka menghargai sebuah persahabatan. Pagi hari, Dewi membangunkan Ari. Tapi Ari tak kunjung bangun. Dewi berusaha membangunkan Ari, tapi percuma, Ari tak bangun juga. Kris pun tiba, Kris berdebar ketika melihat anaknya tak kunjung bangun.
Sesaat pelupuk mata Ari terbuka. Dia seperti menatap ayahnya. Lalu bola matanya terbalik ke atas. Kemudian kehilangan sinarnya. Nafasnya berhenti bersamaan dengan denyut jantung dan nadinya. Dewi mencium bibir Ari yang masih terasa hangat. Dibelainya wajah Ari dengan penuh kasih sayang. Lalu dia menelungkup di atas tubuh Arid dan menangis tersedu-sedu. Kris masih menggenggam tangan Ari sambil menangis ketika Pinta muncul dari pintu. Dalam kegugupannya bergegas menemui Ari karena takut terlambat, Kris telah melupakan Pinta.
Anak itu tertinggal di pintu gerbang. Entah bagaimana gadis kecil itu dapat menemukan kamar Ari. Tersayat hati Kris membayangkan bagaimana gadis itu dapat kesini. Pinta menggenggam tangan Ari dengan kuat. Dipanggilnya nama Ari berulang-ulang. Tapi Ari tak kunjung bangun juga. Pinta mulai menangis “ Pinta nggak mau apa-apa dari ari. Pinta mau Ari bangun Ri…!!! Bangun!!!”
Kris menyentuh bahu Pinta yang masih menangis tersedu-sedu, dan berkata pada dokter “ada yang masih bisa kita lakukan untuk Ari dok, kalau kornea mata Ari masih bagus maukah dokter menolong saya, memberitahukan apa yang harus saya lakukan supaya dapat mewariskan kornea Ari untuk anak ini?”.
Pinta memang memperoleh penglihatannya kembali. Tetapi impiannya untuk melihat wajah Ari sahabatnya bila dia bisa melihat kembali, tidak pernah terwujud. Dia hanya bisas melihat foto Ari dan melihat batu nisannya. Ari telah pergi jauh. Entah kapan mereka dapat bertemu kembali. Sekarang, Pinta sudah dapat melihat mega-mega yang berarak di langit. Dan setiap kali Pinta melihat awan-awan itu, dia tak pernah lupa menitipkan pesan untuk Ari “kalau Pinta kangen sama Ari, bilang saja sama awan itu. Dia berjalan terus. Dia pasti lewat di tempat Ari”.
Dan Pinta percaya, awan-awan itu pasti akan menyampaikan pesannya pada sahabatnya itu.


You Might Also Like

0 comments

Followers

Total Pageviews

Translate