Rindu dan Tangisku
pecah malam ini. Mengingat apa yang telah terjadi satu hari ini. Mengingatkanku
akan apa yang sedang orang tuaku lakukan di rumah sana. Rumah yang jauh dari
rumahku sekarang, yang tak nampak meski kucoba untuk menapak. Rumah yang seakan
penuh akan rindu. Iya, rindu. Memikirkan mereka setelah peristiwa tadi sore
membuatku seakan linglung sendiri. Aku menahan untuk mencoba tidak mengeluh
semenjak tadi sore. Berat memang, menahan seakan menambah beban. Mengeluh adalah
kebiasaanku yang tak pernah puas bagai hewan buas. Bahkan terlampau sering aku
mengeluh dengan apa yang terjadi setiap waktunya. Sampai hal ini menegur diriku
. .
“
Sabtu, 14 Maret 2015 ”
Aku melangkahkan kakiku
keluar untuk sekedar jalan – jalan untuk menghilangkan sejenak pikiran yang
semenjak tadi bergumul dalam diriku. Aku menyadari bahwa ini terlampau awal
untuk uang saku habis. Bukan habis, namun perlahan menipis sehingga kadang diri
ini menjadi kembang kempis. Ini yang menjadi pikiranku sejak tadi, bagaimana
aku harus menghubungi dan memberitahu orang tua akan hal ini. Aku menyimpan hal
ini rapat-rapat dari orang tua. Hanya kakak yang aku percaya menyimpan ini
semua. Uang yang menjadi nyawa tambahan bagiku kulihat hany tertinggal empat
puluh ribu rupiah dalam dompet hitam tebalku yang bukan tebal karena nominal di
dalamnya. Aku memutuskan untuk pergi sejenak bersama teman untuk sekedar
berkeliling dalam kota. Aku menyambangi anjungan tunai mandiri, hanya sekedar
mengecek kabar tentang dana yang dibilang sudah cair dalam rekening mahasiswa.
Nihil, dan itulah yang terjadi. Aku berusaha untuk menambah sabar terhadap kebenaran
kabar. Aku memandang dinding kaca yang ada di sebelah kiriku. Kulihat orang yang
tadi berpapasan denganku dipintu mesin anjungan tunai mandiri sedang berbincang
dengan orang lain. Aku tak melihat siapa yang dia ajak bicara karena terhalang
logo sebuah bank yang tertempel di kaca. Namun kulihat dari isyarat tangggannya
menandakan bahwa ia mengatakan tidak. Aku memutuskan untuk melangkahkan kakiku keluar mesin anjungan
tunai mandiri sambil ditemani oleh teman yang dari tadi selalu bersamaku. Aku keluar
dan terkejut.
Aku
tak menyadari bahwa semenjak aku masuk untuk mengecek uang seseorang telah
menungguku di belakang. Seseorang yang mungkin sama dengan orang yang
berbincang dengan pria sebelumnya, Menungguku dengan sabar untuk keluar. Aku hanya
terdiam bingung, melihatnya menenteng dua buah kantong kresek ditangannya. Aku mencoba
menerawang bahwa isinya adalah telur. Telur? Lantas untuk apa? Baru kusadari
bahwa dia adalah seorang wanita tua. Kriput wajahnya begitu jelas seperti melihat dalam gelas. Keringat dari
dahi perlahan menetes ke mata yang membuatnya menyeka keringatnya tersebut. Keringatnya
kembali turun dari mata ke pipi. Tunggu, Keringat? Bukan! Itu adalah air
matanya. Aku mencoba untuk diam menunggu dia menghampiriku?
“
Nak, tolong beli telur ibu. Sejak tadi pagi ibu tidak laku berjualan. Ibu mau
pulang nak, tapi ibu tidak punya uang untuk pulang. Tolonglah beli dagangan ibu ”
Dia memohon kepadaku
dan temanku untuk membeli apa yang telah ia bawa. Aku menatap wajah beliau. Perlahan
aku menyadari, ternyata dia mulai menagis tersedu – sedu terhadap apa yang
menimpanya. Beliau menangis terisak. Aku tak tau harus berbuat apa untuk
menahannya, minimal menyeka air matanya. Aku menatap temanku yang dari tadi
berada disampingku. Dari tatapan kami, kami masing masing sadar bahwa diantara
kami tidak ada yang memiliki uang cukup untuk membantu.
“
Tolong nak, beli telu ibu. Harganya tujuh belas ribu lima ratus untuk lima
butir telur, dan yang kantung ini berisi sepuluh butir telur dengan harga dua
kali lipat. Ibu hanya pengin pulang nak, tolonglah. Ibu tidak punya ongkos
untuk pulang ”
Aku
kembali bingung berdua dengan temanku. Aku tak tega melihat apa yang ada
didepanku. Aku mengingat sebelum aku bertemu beliau, aku mengeluh akan bebanku.
Namun aku melihat kenyataan bahwa ada orang yang menanggung beban dipundaknya
lebih besar dibanding dengan diriku. Aku kembali diam, aku mecoba melakukan apa
yang aku bisa agar bagaimana beliau bisa segera kembali pulang.
“
Terima kasih nak ”
Aku
bingung dengan apa yang dia ucapkan. Namun kali ini dia menyeka air matanya. Itu
yang membuatku lega. Beliau bersandar pada tiang didepan mesin anjungan. Kambali
menyeka air matanya dengan selendang tua yang ia bawa untuk memikul keranjang. Aku
memutuskan kembali dan berpamitan pada beliau. Aku menaiki motor membonceng
pada temanku. Melihatnya dari kursi belakang motor bahwa beliau semakin jauh,
namun aku jauh lebih lega sekarang beliau bisa kembali pulang. Tanpa sadar aku
menggenggam kantong kresek yang berisi telur. Aku memegangnya dengan erat,
sambil melihat beliau yang lambat laun terhalang dinding yang melintang. Aku dan
temanku terdiam selama perjalanan. Mungkin kami tersadar akan apa yang terjadi
pada diri kami.
Ada
yang aku sesali, kenapa aku tidak mengembalikan telur ini kepada beliau agar
beliau dapat menjualnya dilan hari. Dan itu yang selalu menjadi pikiranku
sampai mala mini ketika aku menuliskan tulisan ini. Aku mencoba untuk
mengembalikan telur ini, namun begitu kembali aku tidak mendapati beliau di
tempat semula. Ya, mungkin ini jalan bagi kami bertiga yang diatur oleh Tuhan. Supaya
masing masing dari kami saling terbantu. Setidaknya beliau bisa pulang dengan
senyum, dan aku tak harus berpuasa karena telur dari beliau.
Aku
tak harus mengeluh dengan beban yang membuatku semakin jenuh. Aku tak harus
bosan dengan beban. Tapi aku harus sadar, bahwa diluar masih ada orang yang
kurang beruntung yang masih berani berjuang sambil memikul beban dipundaknya. Mungkin
mereka adalah bunga yang akan merekah dimasanya. Tuhan mungkin meminjam
kesuksesan mereka, dan akan memberikannya di surga suatu saat nanti. Tuhan kami
adalah Allah, dan Allah sangat bijaksana.
Jadi, kenapa harus mengeluh terus menerus?
Semarang, Maret 2015
Pukul 23:01