Image Source : Google |
Aku tahu, pada saat itu cinta sudah tidak ada lagi pada matamu. Sorotmu kembali
asing, sama seperti saat kita pertama kali mengenal. Tidak dingin memang, tapi tak ada kobaran di
dalam sana, berbeda ketika kita berbicara dua atau tiga bulan lalu pada tempat
yang sama dan tentu saja meja kursi yang sama. Ya, memang hanya tempat ini,
meja paling ujung dari kedai makan berlantai dua di sudut perempatan jalan
kedua setelah lampu merah. Sekali lagi sorot matamu kembali asing bagiku,
mungkin memang tidak ada lagi cinta di dalamnya, tapi kurasa matamu sekali lagi
tidak bisa berbohong walau senyum tersimpul manis pada bibirmu yang senantiasa
diikuti oleh matamu yang menyempit ketika kau tersenyum. Kau sedih bukan?
Kita sudah lama seperti ini, yang aku maksud kita sudah lama bersama. Kita bisa
memahami tanpa harus bicara, tanpa harus meraba, dan tanpa harus mencoba untuk
memberi sedikit tanda. Kita tidak tahu bagaimana kita bisa, tapi memang tanpa
kata semuanya sudah terbaca. Aku, kamu, kita. Aku tidak ingin menerka kenapa
kau nampak sedih dikala kau bercerita dengan bahagianya kau berada di sana. Betapa
luar biasanya sahabat baru yang kau dapat di sana. Aku? Tak lupa kau bahagianya
bercerita kita bisa kembali bertemu, sekedar melepas rindu. Lima ratus sembilan
puluh sembilan koma dua bukanlah jarak yang dekat, kita tidak bisa
sering-sering ketemu bukan? Oleh sebab itu momen kecil seperti ini sudah bisa
membuatku meletup bahagia.
Masih sama, aku masih menanti kapan bibirmu menceritakan maksud dari matamu
sejak tadi. Kalau dikata berbeda, kau tidaklah nampak berbeda. Sikap? Kau masih
sama saja, membuatku suka. Hanya saja kau mengencangkan pelukanmu lebih erat ketika
aku memboncengmu dengan montor bebek buntut, hal yang tidak biasa kau lakukan. Kau
menggandeng tanganku terlebih dahulu menuju lantai dua, menengadahkan kepala
lalu tersenyum manis. Mungkin jika dosisnya berlebihan aku sudah tidak sadarkan
diri dan akan memelukmu erat sat itu. Jika saja aku tahu
“ Jadi benar? ”
“ Iya, .................. “
“ Hei, tenang. Bukankah kita sudah
sama sama dewasa? ”
“ Tapi .. “
“ Memang benar, tidak ada yang indah tentang sebuah perpisahan? “
“ Kau pasti bisa! ” sahutku segera
“ Kau akan mendapatkan pengganti yang luar biasa daripada aku. Memiliki hal
yang tidak aku miliki. Mencintai lebih dari aku mencintaimu. Lebih sabar dari
sabarku ketika aku menghadapimu. Dan bertanggung jawab untuk membimbingmu,
lebih dari aku, yang tak akan bisa celah tipis yang ada. Yang lebih
menghargaimu daripada aku ”
“ Andai saja ayahku . . . . ”
“ Ayahmu? Kenapa? Dia tidak salah, tidak ada sangkut pautnya dengan kita.
Tuhan sudah berkehendak kita sudah berusaha sejauh ini bukan?” aku sadar, bahwa
sendari tadi aku mencoba untuk tidak bergetar.
Dan lagi aku sadar, ketika kau membonceng diperjalanan tadi, mungkin itulah
pelukan perpisahan darimu. Karena mungkin kau tau kita tak akan bisa berpelukan
di depan umum, tak akan bisa berpelukan lagi untuk ke depannya. Tak akan pernah
bisa lagi. Aku menatapmu, ada sedikit air mata di tepi matamu. Aku menangguk
dan kau mengusapnya. Kau tersenyum dan aku mengusap rambutmu. Hal yang akan aku
rindukan sampai kapanpun.
Aku salah tentang sorot matamu saat itu
#terserahpadamu
Rembang, 30 November 2018