( Image Source : Google ) |
Akhirnya aku
kembali menyapamu? Meskipun cakrawala sudah kembali menguning, walaupun senja
kembali menyapa, dan walapun terlambat. Kini aku kembali menyapa ketika senja
sama sama menyapa kta berdua. Kita saling menyapa lalu tertunduk tanpa kata. Aku
menatap matamu, begitu pula kamu. Dari caramu menatap aku tahu jika itu tanpa
makna, padahal aku berharap lebih daripadanya. Tidak apa apa, mungkin terlalu lancang.
Kita dekat,
bahkan sangat dekat. Lebih dekat dari pada siapapun yang ada di antara kita
berdua. Kita tidak perlu lagi sebenarnya, dalam diam untuk mengucap kata. Sekali
lagi kita begitu dekat, tanpa jarak yang begitu berarti. Namun entah mengapa
kita berhenti. Berhenti langkah ku, begitu juga langkahmu. Tak ada satupun di
antara kita yang mendekat. Langkahmu terhenti di situ, dan akupun terhenti
disini. Padahal, jika kita sama sama melangkah, kau dan aku akan cukup dekat. Tapi,
sudahlah
Kau menatapku
kembali. Aku juga sama. yang kulihat bahwa tatapmu mengisyaratkan bahwa aku
seseorang yang baru dalam hidupmu. Aku tidak mengada-ada. Aku heran, aku bahwa
sepertinya diantara kita ada sudah ada orang yang memotong setapak jalan
diantara kita. Seperti ada orang yang sudah menjadi pemilikmu. Tapi aku tidak
tahu siapa orang itu. Apakah aku salah? Salah jika aku mengambil sikap untuk
maju satu langkah? Apakah salah? Siapa yang patut disalahkan? Apakah aku atau
ketidaktahuanku. Atau sikap lambat yang dengan bangga aku rawat hingga
membuahkan hasil seperti sekarang? Atau justru kau dan kesempatan kesempatan
yang tercipta?
Perasaan memaikan
orang dengan licik. Bagaimana tidak? Perasaan menepikan kita dengan jahatnya
sehingga aku bingung, haruskah aku menumpang sampan bersamamu dan tenggelam bersama. Atau aku
yang akan membiarkanmu menumpang sampai ketepi lain dan aku akan tetap disini
tenggelam sendiri. Tidak, aku akan tenggelam bersama senja