Pernah

Saturday, October 30, 2021

Kulangkahkan kakiku berjalan menyusuri lorong sempit di pinggiran kota. Sambil memegang payung yang tidak sepenuhnya melindungi tubu dari hujan. Ya, Hujan di akhir bulan, tenang namun menyisakan kenangan. Kenangan yang masih membayang bahkan setelah bertahun – tahun berusaa untuk dihilangkan. Memang benar kata orang, kenangan memang ada untuk di kenang, bukan untuk dihilangkan. Tetapi, sudah lewat bertahun - tahun bukan? Tapi tetap saja, bayangan tersebut senantiasa membawaku untuk kembali ke belakang, kembali mengenang.

 

Pada malam seperti ini, sebenarnya apa yang kau khawatirkan? Bukankah sudah berlalu? Aku bertanya kembali pada diriku

 

“ Kenapa aku mengambil jalan yang salah? “

 

“ Apakah benar aku mengambil jalan yang salah? “

 

Sejujurnya, aku sudah ingin tidak membicarakan hal hal apapun itu tentangmu, tapi sepertinya tidak mudah. Aku selalu membayangkan bahwa aku menggenggam tanganmu walau nyatanya aku tidak akan pernah. Membayangkan aku berjalan bersamamu suatu saat nanti, walau nyatanya sekarang aku berjalan sendiri. Berharap aku menemanimu sampai tua nanti, namun nyatanya dirimu pergi. Kembali ataupun tidak dirimu nanti, nyatanya sekarang aku sendiri.

 

“ Aku pamit ” ucapnya

 

“ Secepat itu?  Bahkan kamu baru saja memberitahuku kemarin ”

 

“ Mau bagaimana lagi, keberangkatan ayah dipercepat dan semua dokumen ayah sudah siap ”

 

“ . . . . . . . . ”

 

“ Dan juga, pihak gereja sudah menunggu kedatangan ayah ” sambungnya

 

“ Tidak apa – apa, terimakasih sudah pamit ” sahutku

 

Kulihat dia berhenti. Berjalan kepadaku dengan wajah murung. Tidak biasanya dia melihatku dengan ekspresi seperti itu. Aku tersenyum.

 

“ Tidak apa  apa. Apa yang kamu khawatirkan? ” tanyaku

 

“ Maafkan aku ” pintanya. Kulihat dia seperti akan menangis

 

“ Semua akan baik – baik saja. Tidak ada yang perlu disesalkan ” hiburku

 

Kini aku memeluknya. Biarkan ini menjadi yang terakhir bagiku, bagi kita. Tidak akan ada lagi yang seperti ini baik denganmu maupun dengan orang lain. Aku yang menjemputmu dulu, biarkan aku kini yang akan melepasmu. Lagi pula, melepasmu tak akan membuatku kehilanganmu.

 

Hujan kembali membawaku pada kenyataan. Bahwa kini semua sudah berbeda. Hanya kenangan yang tersisa, selebihnya kubiarkan waktu yang menuntaskannya. Tentangmu akan tetap ada, meskipun aku mencoba untuk menghapusnya. Biarkan waktu yang berbicara, aku akan mencobanya.

 

Jika aku ingat kembali sungguh menyedihkan. Nyatanya aku tidak akan sanggup merebutmu dari Tuhanmu dan aku tak akan mau, begitupun aku tak mau menghianati Tuhanku. Itu yang terbaik bagimu, begitu bagiku. Langkahku terhenti, aku mengela nafas panjang. Kembali aku melihat langit yang masih saja menurunkan hujan. Aku mendongakkan kepala. Merasa bahwa hujan telah mewakili semua. Membuatku mengingat kembali dirimu, mengerti akan kapasitas diriku yang sampai kapanpun tak akan pernah bisa bersamamu. Tuhan tidak mengizinkan kita bersatu, dan kita Tahu.

 

Kubiarkan air hujan menyapu wajahku, biarkan saja. Aku tenang dengan keadaan seperti ini. Aku lega bahwa hujan kini menyapu segalanya. Tentangmu, tentang kita.

 

 

Rembang, 30 Oktober 2021

#terserahpadamu


You Might Also Like

4 comments

  1. Kenangan memang untuk dikenang, selama tidak terlarut, atau bahkan tenggelam di dalamnya. Perlu kesadaran diri serta keberanian untuk kembali pada kenyataan. Merelakan segalanya telah berakhir.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar, kenanangan memang pembelajaran terbaik. Sekarang bagaimana kita tinggal menyikapinya

      Delete
  2. move on dari kenangan memang sulit
    apalagi jika harus melewati keputusan sulit
    meski tak mudah, ikhlas adalah jalan terbaik

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sulit memang, tapi terkadang harus dipaksakan. Mau tidak mau kita harus kembali pada kenyataan


      Terimakasih sudah berkunjung

      Delete

Followers

Total Pageviews

Translate