Lisria dan Bukunya Part 4

Sunday, February 08, 2015



Aku melelapkan diri dalam dekapan Tuhan, dengan masih berbalut mukena yang aku kenakan. Aku membaringkan diri bersujud, mencium hentangan panjang sajadah yang aku kenakan untuk sholat. Aku memiringkan tubuhku ke kanan, membanting tubuhku dengan lembut dalam balutan sajadah. Dalam diam aku menangis, akju menangis mengingat diriku telah lancang berbicara dengan Tuhan, tapi aku masih yakin jika Tuhan akan menjangkauku, menjangkau doa yang selama ini menjadi rutinitasku. Mendoakan kekasihku yang aku tinggalkan jauh disana. Tanpa sadar itulah yang menjadi kebiasaanku, kebiasaan pengantar tidurku. Walau sebenarnya aku tidak tahu dan bahkan yang aku doakan mungkin tidak mau. Terasa kedipan mataku mulai berat, mulai melemah. Air mataku tak sekencang angin yang sendari tadi berisik mencoba mengganggu doa dan lamunanku. Angin yang sendari tadi mengetuk jendela yang berada di sudut kamar itu tak membuatku terhentak, beranjak dan bangun dari posisiku. Hitam mulai terlihat, menyelimuti ruang dimana aku berbaring, perlahan gelap menutup semuanya. Mataku menutup, dan aku tertidur masih dalam balutan baju terindah didunia, dan mungkin Tuhan akan mengasihinya.

“ Aku ibarat bunga dimana ladang adalah tempatku untuk tinggal. Tinggal sendiri dalam luasnya bentangan langit yang menutup jangkauan pandangku. Menutup, iya. Aku bahkan tidak mengetahui dengan siapa aku di ladang tersebut. Ataukah aku sendiri, atau aku ada yang menemani namun aku tak mampu menyentuhnya. Oh ya, aku adalah bunga dan aku tak akan mungkin bisa menyentuh siapapun. Bahkan untuk menyentuh sekalipun, akulah yang sebenarnya ingin disentuh. Sentuhan sayang dan bukan belas kasihan oleh seseorang karena aku sendiri di ladang ini. Rasanya aku ingin sekali seseorang memetikku dan menyimpanku “

Dalam balutan pakaian yang sama, aku tertunduk layu bercerita kembali kepada Tuhan. Jam menunjukkan pukul empat pagi, terdengar sayup sayup suara Iqomah dari celah ventilasi kamar. Kali ini angin sudah tak ingin menggangguku lagi. Pagi ini aku kembali bersujud kepada Tuhan, menangis lagi karena ada yang ingin aku ungkapkan kepada Tuhan . .

“ Tuhan, zat yang paling sempuna di dunia yang aku percaya dengan segenap hati, jika Engkau mengizinkanku bersikap dan bertindak untuk hari ini. Biarkan satu hari ini saja aku tidak memperlihatkan air mataku pada seseorang, aku ingin menjadi hambamu yang kuat, kuat karena engkau Ya Allah. ”

Aku melewatkan subuhku dengan doa dan bergegas menata diri sebaik mungkin, mempersiakan diriku untuk berangkat ke kampus seperti biasanya. Melangkahkan kaki keluar dari tempat yang bagi aku adalah segalanya membuat diriku begitu berat untuk pergi ke kampus. Jika aku ingin, aku lebih memilih untuk lebih lama bercerita dengan Tuhan. Asalah yang membuat aku harus berangkat. Berjalan sendiri membuatku begitu berat mengingat semua yang terjadi. Kerikil menambah sakitnya langkah yang aku tempuh, terpaan angin mempelahan langkahnya, dan lagi.

* Dari Sudut Pandang Imam *

Aku yang sudah sampai terlebih dahulu di kampus telah mepersiakan kursi disebelahnya, sengaja hanya untuk Lisria. Aku senang jika aku mampu mendengarkan apa yang Lisria rasakan. Walau terkadang hal itu pula yang membuatku tak tega pada gadis yang bertubuh kecil dan bermata tajam tersebut. Aku sering kali berfikir kenapa Lisria yang bermata tajam tersebut mudah sekali untuk mengeluarkan tangis dan air mata. Mungkin itu adalah tatapan yang sengaja ia pasang kesehariannya agar ia tak terlihat rapuh di depan orang lain. Aku terhentak dalam lamunan, tanpa aku sadari bahwa Lisria yang aku tunggu kini sudah melangkahkan kakinya dalam ruangan. Senyum kecil mengiringi langkahnya walau terlihat senyum yang ia lontarkan begitu berat. Ia merebahkan tubuhnya dalam kursi yang ada di sampingku. Ia tertunduk lesu dengan tatapan kosong.

“ Ada yang perlu aku dengar dari ceritamu? ” Tawarku membuyarkan lamunan Lisria.

Lisria begitu tampak lesu, wajahnya memerah namun pucat. Nafasnya begitu berat. Pandanganya sudah tidak setajam pertama aku melihatnya.

“ Rasanya aku ingin sekali kembali ke ladang tempat aku tinggal, tempat dimana aku bisa kembali berkumpul dengan siapa aku seharusnya. Tempat dimana seseorang akan memetikku dan membawaku pulang. Aku sakit dalam rindu akan ladang itu, dan sakit itu yang membuatku semakin rindu. ”

Tanpa aku sadari Lisria menutup matanya dan terjatuh ke Lantai. Semua orang dalam kelas bingung harus berbuat apa. Aku memegang dahinya. Panas. Dan benar, rindu adalah  yang membuatnya sakit, dan sakit tetap membuatnya rindu. Rindu akan sesosok kekasih yang belum bisa ia tinggalkan.


Bersambung . . .

You Might Also Like

0 comments

Followers

Total Pageviews

Translate